Jalan Menuju Pendidikan |
Tujuan ini adalah satu revisi karna menurut UU Guru serta Dosen (UU Nomor 14 Th. 2005), harusnya semuanya dosen telah berpendidikan S-2 pada akhir 2015. Tetapi, gagasan ini butuh dikritisi karna membawa banyak konsekwensi yang bermuara pada rusaknya sendi-sendi perlu penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta bertanggungjawab di Indonesia.
UU Guru serta Dosen itu diputuskan pemerintah jadi usaha untuk tingkatkan kualitas pendidikan, terutama pendidikan tinggi (PT). Pemerintah berikan saat sepanjang 10 th. agar semuanya PT bisa penuhi UU ini. Sayangnya, tak ada langkah konkret-sistemik yang dikerjakan pemerintah terkecuali sediakan beasiswa. Tidaklah heran jika pada akhirnya saat 10 th. kurang. Karna seakan tak ada jalan keluar penuhi ketetapan UU itu, pemerintah berencana ambil jalan pintas. Atas nama Kerangka Kwalifikasi Nasional Indonesia (KKNI), pemerintah juga akan berikan titel magister massal pada beberapa sarjana ini lewat program penyetaraan S-2.
Langkah pemerintah menanggapi masalah kwalitas pendidikan tinggi ini bak pepatah ”buruk muka cermin dibelah”. Mengingat standard kualitas minimum tidak terwujud, jadi standard itu yang juga akan dirubah walau otomatis. Memanglah standard minimum berpendidikan S-2 tidak juga akan dirubah oleh pemerintah, namun arti S-2 yang juga akan dirubah. Apabila terlebih dulu titel magister cuma dapat didapat lewat aktivitas belajar sekitaran dua th. serta dibarengi pembuatan tesis, hal tersebut peluang juga akan dirubah cukup lewat pendidikan serta latihan singkat dan ujian tertulis pilihan ganda.
Apabila sekian yang juga akan berlangsung, pemerintah bisa dipandang mencemari titel magister. Memanglah belumlah ada standard spesial untuk peroleh titel magister, namun telah jadi praktek umum di PT Indonesia kalau titel magister cuma bisa didapat lewat pembuatan tesis yang perlu dipertangungjawabkan dihadapan dewan penguji. Saya percaya program penyetaraan S-2 singkirkan prasyarat berat ini karna malah di situlah masalah tidak mudahnya memperoleh titel magister. Tanpa ada singkirkan pembuatan tesis, penyetaraan S-2 tidak juga akan menjangkau tujuan kurun waktu dua th..
Kebijakan menyesatkan
Terkecuali masalah tehnis diatas, problem pokok beda apabila gagasan ini diwujudkan, seakan-akan problem kompetensi serta kwalitas telah dikerjakan dengan memberi label atau titel. Kompetensi yang harusnya dibuat lewat sistem serta kendali sistem yang baik dinafikan untuk kebutuhan perolehan tanda kuantitatif yg tidak bermanfaat. Pemberian titel itu sesungguhnya tidak merubah kondisi apa-apa terkecuali merubah data.
Pengubahan ini jadi menyesatkan pada saat data yang baru lalu dipahami lepas dari konteks serta sistem bagaimana data itu beralih. Pikirkan saja saat dalam dua th. seakan-akan kita memperoleh magister baru sejumlah 69. 000, namun sesungguhnya tak ada yang baru sekalipun.
Jika program penyetaraan S-2 benar-benar digelindingkan, juga akan keluar pesan kuat begitu pemerintah sendiri berniat mengakibatkan kerusakan sistem maha perlu serta mendasar satu pendidikan tinggi, yaitu terjadinya latihan berkegiatan ilmiah (academics exercise). Latihan berikut yang membuat kompetensi akademik seorang serta mustahil dipersingkat akhirnya jadi satu kursus atau penataran singkat. Kompetensi akademik ini dengan esensial begitu berlainan dengan kompetensi praktikal yang dipunyai seorang. Kekuatan seorang kerjakan atau buat suatu hal tidak bisa disetarakan demikian saja dengan perolehan kompetensi akademik.
Latihan berkegiatan akademik diarahkan untuk membuat sikap serta kekuatan seorang berkreasi akademik. Hal tersebut bermakna ia berlatih untuk temukan problem, merumuskan cara pemecahan problem, serta buat referensi penyelesaian problem sesudah ia coba merampungkannya. Tetapi butuh diingat, problem disini bukanlah sebarang problem, terlebih problem tehnis seperti buat ini atau merakit itu. Problem yang dirumuskan sebaiknya berkaitan dengan masalah pengembangan pengetahuan karna pembuatan tesis diarahkan untuk menaikkan pengetahuan di bagian spesifik.
Program penyetaraan S-2 mustahil bisa menukar terjadinya academics exercise yang ideal karna sifatnya yang ”kejar tayang”. Program penyetaraan S-2 cuma menguatkan terjadinya pencitraan politis di bagian pendidikan lewat perolehan tanda persentase dosen PT bergelar magister.
Prinsip jalan pintas
Apabila pemerintah selalu lakukan prinsip jalan pintas begini, seperti sudah berlangsung di Pendidikan serta Latihan Profesi Guru, jadi dunia pendidikan Indonesia juga akan makin tersungkur karna satu diantara sumber rendahnya kualitas pendidikan kita yaitu kuatnya formalisme dalam keseluruhnya sistem pendidikan. Bila pemerintah sendiri malah sangat terpaksa pilih tujuan pada keluaran (output) normalitas daripada mendorong terjadinya sistem yang baik serta bertanggungjawab, lantas siapa sekali lagi yang bisa melakukan perbaikan iklim pendidikan kita?
Disamping itu, kita telah semestinya selalu prihatin karna masih tetap ramainya praktek kuliah abal-abal, ijazah palsu, serta jasa pembuatan skripsi. Program penyetaraan S-2 juga akan dipahami orang-orang kalau pemerintah sendiri mengamini mentalitas beberapa orang-orang kalau titel akademik yaitu perkara status, citra, atau data statistik daripada kompetensi akademik. Dengan hal tersebut, pemerintah tidak mesti risih, bahkan juga dalam skala spesifik merestui praktek jual-beli titel serta ijazah palsu.
Semestinya, saat tujuan capaian tidak terwujud, pemerintah mesti jujur untuk menyampaikan apa sebagai sebab-musababnya. Saat pemerintah jujur, terutama berkaitan dengan problem pendidikan, orang-orang juga akan gampang terima serta bahkan juga juga akan menolong mengatasi masalah itu. Walau demikian, apabila tujuan capaian itu dirumuskan semata untuk pencitraan politik, pemerintah mesti terima kenyataan politiknya serta mesti selalu belajar kalau dunia pendidikan tidaklah dunia industri atau usaha yang gampang dikenai beragam tujuan capaian kuantitatif.
Oleh karenanya, penggunaan rencana KKNI jadi pembenar lahirnya program penyetaraan S-2 sejatinya sangat dipaksakan. KKNI harusnya cuma berperan jadi mekanisme rujukan untuk buat kesetaraan pernyataan serta penghargaan pada kompetensi akademik serta kompetensi praktikal, serta tidak lantas jadi kesetaraan titel akademik.
Bila benar-benar ingin berkelanjutan menggunakan KKNI, cukup di buat mekanisme pernyataan pada kompetensi praktikal beberapa sarjana lulusan S-1 ini, lalu bisa dipakai untuk memperoleh status pendidik (baca dosen) profesional. Dengan hal tersebut, yang butuh dirubah cukup ketentuan untuk peroleh pernyataan pendidik profesional yang sekarang ini mensyaratkan minimum berpendidikan S-2.
Memanglah masih tetap ada masalah karna tertulis dalam UU Nomor 14 Th. 2005 kalau dosen mesti berpendidikan S-2. Tetapi, pemunduran saat perolehan amanat undang-undang ini s/d 2017 juga telah adalah pelanggaran. Oleh karenanya, pertanyaan dasarnya, kenapa pemerintah tidak berani tegas mengaplikasikan undang-undang ini? Jangan-jangan angka 69. 000 ini menyebar di beberapa ribu PT hingga begitu mungkin saja di cari jalan penyelesaian yang berbentuk lokal di tiap-tiap PT serta tidaklah perlu penyelesaian seragam, systemik, serta masif di tingkat nasional yang malah menyebabkan fatal untuk keseluruhnya iklim pendidikan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar